Jakarta, Selular.ID – Rancangan Perubahan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Jaringan Utilitas dinilai membuat ekonomi biaya tinggi. Padahal Presiden Jokowi menginginkan investasi tumbuh dan menekan ekonomi biaya tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah pusat.
Muhammad Arif, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) menilai regulasi yang tak singkron ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Pemerintah Kota Surabaya beberapa waktu yang lalu juga membuat regulasi serupa yang dinilai berpotensi memberikan beban tambahan kepada operator telekomunikasi.
Akibat banyaknya regulasi yang tak sinkron, pada akhir tahun 2019 APJATEL melakukan Judicial review ke Mahkamah Agung dengan no pendaftaran 13P/HUM/2020 tanggal 6 Januari 2020 untuk meninjau PerMendagri 19 tahun 2016.
Gugatan tersebut dilayangkan APJATEL dikarenakan banyak multitafsir mengenai hak dan harga sewa lahan di badan jalan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, tidak terdapat keseragaman perhitungan yang diserahkan sepenuhnya ke pemerintah daerah.
“APJATEL menyayangkan ketika internet sudah merupakan kebutuhan dasar dari masyarakat dijadikan obyek pendapatan oleh pemerintah daerah. Tentu ini kontradiktif dengan semangat “Making Indonesia 4.0” yang didengungkan Bapak Presiden,”ujar Arif.
APJATEL menilai masih belum maksimalnya harmonisasi regulasi untuk sektor telekomunikasi antar pemerintah pusat dan daerah ditunjukkan dengan Dinas Kominfo dan DISPENDA tidak menjalin komunikasi dengan Kemenkominfo.
Buktinya adalah izin penyelenggaraan yang dikeluarkan Kemenkominfo tidak menjadi tolak ukur saat penyedia jaringan telekomunikasi ingin melakukan pengurusan izin di daerah. Padahal di masa pandemik, kebutuhan akan bandwidth sangat vital, sebab masyarakat bekerja atau belajar dari rumah.
“APJATEL memandang jika Indonesia ingin segera menjadi Negara yang terdepan dalam industri digital 4.0, tentunya masalah infrastruktur ini harus segera mendapatkan solusinya. Seharusnya penggelaran jaringan kabel fiber optic mendapatkan pengecualian. Sama seperti layanan listrik dan air yang sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Sebenarnya pemerintah ingin memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya atau tidak? Hal ini tentunya hanya bisa di jawab oleh pemerintah,”terang Arif.
Idealnya di negara maju, infrastruktur pasif sudah disediakan oleh pemerintah daerah. Tujuannya agar mengurangi kesemerawutan jaringan.
Namun di Indonesia, pemerintah daerah tak pernah membuat infrastruktur pasif. Operator telekomunikasi yang selama ini membangun infrastruktur pasif tersebut. Menurut Arif seharusnya pemerintah pusat atau daerah mendukung langkah tersebut. Bukan malah mempersulit dengan menggenakan sewa yang terlalu tinggi.
Pembuatan SJUT (Sarana Jaringan Utilitas Terpadu) disarankan oleh Arief dipergunakan untuk kepentingan umum, namun kenyataannya penggelolaannya diserahkan kepada BUMD. Karena pengelolaannya dilakukan oleh BUMD maka biaya yang dikenakan ke operator juga harga keekonomian.
Arief mencontohkan di Kota Surabaya misalnya, pemerintah kota tanpa membangun SJUT tetap menggenakan tarif sewa lahan kepada operator telekomunikasi. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan semangat membangun penetrasi broadband dan making Indonesia 4.0 pemerintahan Presiden Jokowi.
Jika Indonesia menginginkan terwujudnya e-government, smart city maupun e-learning, menurut Arif sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah memberikan karpet merah kepada operator.
Dengan tidak memberikan beban tambahan. ditambah dengan kemudahan dalam membuat perizinan di daerah, membuat operator telekomunikasi mendapatkan kepastian berinvestasi. Dengan kepastian tersebut operator juga dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat di Surabaya dan Jakarta.
Lanjut Arif akibat pandemik, beban operasional penyelenggara jaringan dan operator telekomunikasi mengalami peningkatan yang signifikan. Meski trafik data mengalami kenaikkan, namun saat ini banyak anggota APJATEL dan penyelenggara telekomonikasi mengalami tekanan. Beban operasional operator telekomunikasi seperti membayar bandwidth mengalami kenaikkan yang signifikan. Sementara harga layanan internet tak berubah.
“Pada masa PSBB kemarin mayoritas penyelenggara jaringan telekomunikasi terdampak. Work from home dan distance learning membuat sebagian besar operator penyelenggara jasa telekomunikasi menghentikan kegiatannya. Sebab sekolah dan tempat komersial berhenti beroperasi. Karena berhenti beroperasi penggunaan internet juga tak ada,”ujar Arif.
Beberapa waktu yang lalu, APJATEL, APJII dan ATSI telah mengirimkan surat kepada Menkominfo dan Menteri Keuangan agar dapat diberikan insentif semasa pandemik. Karena terdampak pandemik, APJATEL berharap kepada pemerintah daerah yang mengatur penggunaan utilitas publik untuk tidak memperberat operator telekomunikasi yang tengah menghadapi masa sulit.
“Jika beban operasional kami mengalami kenaikan akibat regulasi, ujung-ujungnya masyarakat yang akan terkena dampaknya. Kami mengharapkan pemerintah pusat dapat segera turun membenahi regulasi yang ada di daerah,”pungkas Arif.
Indra Khairuddin
–
28 July 2020 17:00