Transformasi digital menjadi keniscayaan di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Dengan transformasi digital, suatu negara akan menjadi lebih kompetitif. Negara dengan transformasi digital yang maju akan lebih mudah bersaing di pasar global yang kian ketat. Melalui transformasi digital yang dijalankan, sebuah negara juga dapat memperoleh kesempatan baru untuk kemajuan ekonomi dan sosial. Namun demikian, tiap negara memiliki tingkat kesiapan yang berbeda dalam mengakselerasi transformasi digital memperhatikan keragaman peluang dan tantangan yang dihadapi.
Tingkat kesiapan negara dalam menghadapi transformasi digital setidaknya dapat diukur dari berbagai aspek seperti misalnya tingkat adaptasi terhadap perangkat komunikasi mutakhir, kemampuan memproduksi teknologi telekomunikasi dan konten digital, serta cakupan konektivitas internet. Tingkat kesiapan suatu negara tersebut pada gilirannya akan memengaruhi daya saing mereka di tingkat global. Berdasarkan penelitian oleh Chakravorti, Chaturvedi, Filipovic dan Brewer (2020) yang menghasilkan Digital Intelligence Index, terdapat empat klasifikasi ekonomi sesuai dengan potensi momentum digitalisasi perekonomian suatu negara. Empat klasifikasi tersebut adalah stand out economies, stall out economies, break out economies dan watch out economies. Dari keempat klasifikasi tersebut, Indonesia masih termasuk dalam kategori negara break out economies (Chakravorti, et al., 2020). Kategori ini meliputi negara-negara yang memiliki potensi pasar ekonomi digital yang besar tetapi masih memiliki kekurangan dalam infrastruktur dan rendah dalam literasi dan kapasitas digitalnya. Namun demikian, negara-negara yang termasuk dalam kategori ini memiliki momentum yang cukup kuat dengan ruang perkembangan yang signifikan sehingga menarik inovasi dan investasi. Sebagai bagian dari negara break out economy, salah satu tantangan dalam kasus Indonesia berkaitan dengan tantangan investasi dan kesulitan membuka jaringan infrastruktur di daerah baik perkotaan maupun terutama daerah di daerah terpencil, tertinggal, terluar (CNN Indonesia, 2020; Republika, 2021).
Dalam proses transformasi dari status break out economies menjadi stand out economies, yaitu negara yang sudah sangat maju digitalisasinya dengan momentum yang tinggi, hal krusial yang perlu dilakukan Indonesia adalah dengan mempermudah investasi pembangunan infrastruktur di level daerah. Dilema yang muncul dalam perdebatan ini adalah banyaknya pandangan bahwa permasalahan di daerah akan serta merta berhasil diatasi dengan resentralisasi. Akan tetapi, beberapa program prioritas harus terpenuhi di antaranya penyediaan konektivitas yang cepat dan inklusif; membangun lingkungan yang bagus bagi usaha; serta koordinasi antara universitas, dunia usaha, dan otoritas digital. Dengan lingkungan yang terbuka dan demokratis, masing-masing daerah dapat memaksimalkan potensi dan ekosistem ekonominya yang unik.
Tentu dalam dinamika harmonisasi kepentingan berbagai pemangku kebijakan, terdapat aneka tantangan yang harus dikelola. Pasca otonomi daerah, masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda) dapat merumuskan regulasi tersendiri. Termasuk untuk merespon respon kebijakan transformasi digital dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Beberapa regulasi yang dirancang oleh Pemda untuk meningkatkan PAD misalnya, dinilai oleh pemerintah pusat sebagai berpotensi menghambat transformasi digital yang tengah diupayakan.
Dalam kasus Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT), seluruh penyedia layanan umum seperti PT PLN dan perusahaan jaringan telekomunikasi lain harus menyewa SJUT yang dibangun oleh pemerintah provinsi agar sesuai dengan tujuan penataan kota. Di sisi lain, PT PLN dan perusahaan jaringan telekomunikasi menyampaikan telah melakukan relokasi jaringannya dari jaringan udara ke jaringan bawah tanah. Walaupun, dalam relokasi tersebut memang tidak menggunakan SJUT yang dibangun oleh Pemprov. Selain itu, kasus serupa di Surabaya patut menjadi perhatian. Dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya menetapkan tarif yang tinggi terhadap penyedia jasa internet, listrik, dan gas tanpa membangun SJUT sebagaimana yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta (Detikcom, 2021). Pada gilirannya, biaya tinggi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dikhawatirkan dapat membebani konsumen dan menghambat akselerasi transformasi digital yang telah menjadi program nasional.
Signifikansi Diskusi
Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mendorong berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah untuk merumuskan strategi daya saing digital masingmasing dengan bermitra bersama lembaga riset dan universitas, sektor usaha, dan pemerintah pusat. Harapannya sinergi antar pemangku kepentingan dapat mendukung upaya mencari format yang berkeadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam mendukung transformasi digital. Untuk memandu diskusi, narasumber diharapkan memberikan tanggapannya atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana peta ekonomi digital di Indonesia saat ini dan seberapa besar lost momentum yang kita bisa hitung dari kondisi break out economies (kesulitan investasi infrastruktur dan kurangnya kapasitas keterampilan digital)?
2. Apa hambatan-hambatan utama sektor penyedia layanan jasa internet ketika ingin mengembangkan jaringan ke penjuru tanah air?
3. Dalam kondisi saat ini, apa rencana yang akan dilakukan oleh sektor usaha untuk gencar berinvestasi di daerah? Apa perubahan yang diharapkan atau diproyeksikan?
4. Apa yang bisa dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan guna mendorong transformasi digital nasional secara merata, adil, dan inklusif.
#21 February 2023, Apjatel_UGM