Jakarta, CNN Indonesia — Industri telekomunikasi ternyata tak semua mendulang untung dari pandemi corona yang membuat banyak orang bergantung pada layanan internet ini.
Alih-alih mendulang untung, sebagian besar para penyedia jasa internet (Internet Service Provider/ ISP) mengaku merugi. ISP ini pada umumnya menyediakan layanan internet lewat kabel, bukan lewat jaringan selular.
Terutama ISP yang mengandalkan pelanggan korporat. Sebab, di kala pandemi seperti ini banyak kantor yang melakukan pekerjaan dari rumah. Di sisi lain, operator seluler mengaku mendapat kenaikan pemakaian internet dan pertumbuhan pengguna.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) mengeluh anggota asosiasinya mengalami potensi kerugian hingga Rp264 miliar.Angka ini didapat dari studi Apjatel yang dilakukan pada Maret 2020.
Seiring dengan rencana berakhirnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan jelang era normal baru (new normal) para penyedia layanan berharap kondisi ini bisa memperbaiki keadaan.
New Normal sendiri juga bisa diartikan sebagai penyesuaian pola hidup normal ditambah dengan penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Sebab menurut Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan Baasir
pencabutan PSBB kemungkinan tidak sekaligus membuat aktivitas masyarakat kembali seperti sedia kala.
Sebab, kemungkinan perkantoran masih akan melakukan kombinasi antara sebagian bekerja dari rumah dan dari kantor.
“Traffic mobile mungkin akan terurai dari perkantoran dan residensial, penggunaan media daring juga masih lumayan tinggi,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (20/5).
Sementara Apjatel berharap era new normal bisa kembali membangkitkan bisnis mereka.
“Kita pasti berharap market segera normal, tapi kita tahu itu pasti butuh waktu,” jelas Ketua Umum Apjatel Muhammad Arif saat dihubungi terpisah.
Meski demikian, Arif memperkirakan pasar korporasi bakal sulit tumbuh, “flat atau turun sedikit,” tuturnya.
“Kalau konsumen retail, 6 bulan sampe awal tahun depan saya rasa masih sama, masih meningkat trennya. Tetapi tidak secepat bulan-bulan lalu.”
Untuk itu Arif menyarankan agar para pemain ISP untuk melakukan kolaborasi untuk meningkatkan segmen pasar.
Tak mampu bertahan lama
Sebab, berdasarkan studi APJATEL diperkirakan 48 persen ISP asosiasi itu tak akan bisa bertahan dalam waktu 6 bulan ke depan. Sementara, 12 persen di antaranya tak dapat bertahan dalam 3 bulan ke depan.
Ketua Umum Apjatel mengatakan ketidakmampuan ISP bertahan ini disebabkan oleh tersendatnya arus kas (cashflow) akibat Pandemi Covid-19. Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB) akibat Covid-19 mengakibatkan 84 persen pelanggan korporat menunda pembayaran, 76 persen menurunkan kapasitas, 80 persen menghentikan layanan.
“Tak bertahan ini bisa tutup sementara, tak bankrut total. Karena secara cashflow tersendat, karena banyaknya tagihan yang masih tertahan di luar,” ujar Arif kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/5).
Arif mengatakan terganggunya keuangan ini membuat perusahaan ISP harus mengurangi pengeluaran operasional besar-besaran.
“Pengurangan Opex ada banyak, pengurangan karyawan, gaji, bayar sewa kantor, bayar listrik, cicilan, bayar vendor, bayar bandwidth, bayar maintenance jaringan, semua yang sifatnya rutin,” tutur Arif.
Oleh karena itu Arif meminta penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi (BHP TEL) dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal/ Universal Service Obligation (USO) untuk menjaga arus kas perusahaan.
Menkominfo Johnny G. Plate telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kominfo No. 3 tahun 2020 tertanggal 30 April 2020 mengenai Jatuh tempo pembayaran Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dan Kontribusi USO.
Sebagian besar ISP pemain kecil
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Jamalul Izza mengatakan Covid-19 sesungguhnya menurunkan pendapatan perusahaan ISP.
Sebab lebih dari 500 ISP di seluruh Indonesia, bukanlah deretan perusahaan-perusahaan besar. Mayoritas anggota APJII adalah perusahaan ISP kecil yang notabene hidup dari model bisnis Business to Business (B2B) atau segmen korporat.
Lebih dari 50 persen dari anggota APJII, bisnis mereka bertumpu untuk melayani sektor bisnis lain (business to business/ B2B) seperti perkantoran dan hotel.
Banyak hotel dan kantor berhenti beroperasi dan mengalihkan aktivitas pekerjaan di rumah. Tingkat okupansi hotel pun rendah, yang ikut memengaruhi pemasukan hotel.
Semua hal itu berpengaruh karena sebagian besar penyedia jaringan internet di Indonesia hidup dari model bisnis Business to Business (B2B) yang melayani korporasi dan hotel.
“Jadi, tidak ada kata industri kami ini diuntungkan dari pandemi Covid-19. Itu adalah persepsi yang salah,” ujar Jamalul.
Arief mengatakan 82 persen ISP bergantung pada segmen korporat. 54 persen ISP bahkan hanya memiliki pelanggan korporat, bukan retail.
Di sisi lain, Apjatel mengatakan kami para pelaku telekomunikasi tetap berkomitmen untuk selalu mendukung kualitas layanan sebaik-baiknya ditengah wabah virus Covid-19.
Industri seluler raup untung
Dihubungi terpisah, Marwan menjelaskan kenaikan traffic internet tidak selalu diiringi dengan kenaikan pendapatan operator seluler.
Sebab, operator seluler juga telah memberikan insentif kuota bonus gratis, salah satunya untuk akses pendidikan digital. Ia mengatakan kontribusi pemain seluler kepada masyarakat selama Covid-19 mencapai angka Rp2 triliun. Insentif dan pengeluaran tambahan untuk memastikan kualitas jaringan tak diiringi oleh peningkatan pendapatan.
“Belum tentu naiknya revenue karena masih banyak layanan gratis juga,” ujar Marwan.
Selain itu, operator harus mengeluarkan belanja modal yang lebih untuk memasang kabel dan perangkat aktif lainnya untuk mengikuti perubahan pola penggunaan internet dari area perkantoran ke area perumahan.
Peningkatan traffic belum tentu menandakan peningkatan pendapatan operator karena peningkatan pendapatan ini sangat bergantung pada daya beli masyarakat.
Sebelumnya, Ketua Umum ATSI, Ririek Adriansyah mengatakan tren ini akan semakin terasa karena dampak ekonomi COVID-19. Tidak lama lagi, layanan telekomunikasi ritel bisa menurun karena daya beli sedikit demi sedikit berkurang.
Sepakat, Marwan pun mengatakan operator seluler juga membutuhkan penundaan pembayaran PNBP seperti ISP karena daya beli masyarakat terasa mulai menurun pada April. Marwan mengatakan operator seluler tetap akan membayar, tapi hanya meminta penundaan saja untuk menjaga arus kas.
“Saya tadi bilang traffic naik belum tentu revenue naik, Sekarang orang masi euforia berpikir [pendapatan] telekomunikasi akan naik. Padahal daya beli masyarakat sudah mulai menurun,” kata Marwan.
Ririek mengatakan industri telekomunikasi sehat mengacu pada tiga hal. Pertama adalah harga layanan harus terjangkau yang mampu dibeli masyarakat.
Kedua pelakunya dan industrinya harus sustain (berkesinambungan) agar bisa terus beroperasi dan memberikan layanan berkualitas bagi masyarakat. Ketiga adalah harus terjangkau merata ke masyarakat di seluruh pelosok daerah. (jnp/eks)
CNN Indonesia | Jumat, 22/05/2020 14:45 WIB
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200520180724-213-505443/ironi-new-normal-para-penyedia-internet?