SURYA.co.id | SURABAYA – Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel) dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyesalkan kebijakan dan aturan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang menarik sewa lahan untuk penyelenggara jaringan utilitas.
Hal itu ditandai dengan melayangkan surat Permohonan Peninjauan Kembali Tarif Sewa Lahan untuk Penyelenggara Jaringan Utilitas karena tarif yang dikenakan dianggap tidak masuk akal. “Namun hingga saat ini belum direspon,” kata Muhammad Arif, Ketua Umum Apjatel Indonesia, Minggu (9/8/2020).
Menurut Arif, saat ini telekomunikasi merupakan kebutuhan utama masyarakat, sudah seperti listrik dan air. Terlebih lagi di saat pandemik seperti saat ini, telekomunikasi merupakan urat nadi perekonomian nasional, dimana Presiden Jokowi menginginkan investasi tumbuh, dan menekan ekonomi biaya tinggi.
“Rencana Pemkot Surabaya jelas-jelas bertolak belakang dengan rencana Presiden Jokowi,” tambah Arif.
Selain mengenakan harga yang sangat tinggi, Pemkot Surabaya juga hanya mengenakan sewa kepada seluruh operator telekomunikasi. Tanpa ada effort dari Pemkot Surabaya untuk membuat ducting atau sarana terpadu utilitas untuk mendukung aktivitas operator telekomunikasi. Seperti yang dilakukan oleh Pemprov DKI.
“Pemkot Surabaya hanya menggenakan sewa saja terhadap kabel kita di jalan atau area yang dilewati kabel tersebut, padahal area tersebut tidak hanya digunakan khusus untuk kabel saja melainkan untuk area umum juga, dan tanpa difasilitasi dengan sarana jaringan utilitas terpadu sebagai bentuk penataan kabel udara,” ungkap Arif.
Sebaiknya, ketika pihaknya menyewa properti, harus ada kejelasan mengenai hak dan kewajiban dari penggelola dan penyewa, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.
Arif mengingatkan kepada Pemkot Surabaya dan daerah lain yang mungkin memiliki niat yang sama agar tidak membebani operator telekomunikasi dan masyarakat. Jika Pemkot Surabaya tetap bersikukuh ingin mengenakan biaya secara komersial dan tak masuk akal, maka nantinya seluruh beban yang dikeluarkan oleh operator telekomunikasi akan didistribusikan kepada masyarakat di Kota Surabaya.
“Setiap ada tambahan biaya pasti akan mempengaruhi harga jual kita kepada masyarakat,” lanjut Arif. Padahal pihaknya saat ini sangat diandalkan untuk turut membantu program Pemerintah dalam membangun dan meningkatkan perekonomian nasional.
“Kami berharap Pemerintah kota Surabaya tak memberikan beban tambahan kepada kami, terutama di masa pendemi ini dimana masyarakat Surabaya yang saat ini sangat menggantungkan aktivitas ekonomi dan belajarnya pada internet,” ungkap Arif.
Arif juga mengingatkan Pemkot Surabaya untuk tidak melakukan pemotongan kabel operator telekomunikasi. Dalam UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi pasal 38 dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, dimana ada sanksi pidana terhadap pelanggaran ini.
“Selain sanksi Pidana, rencana Pemkot Surabaya yang akan menertibkan jaringan telekomunikasi milik operator dipastikan akan mengganggu program nasional yang tengah digalakkan pemerintah pusat. Pemerintah pusat mengharapkan layanan broadband dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Protes itu dilayangkan setelah Jumat (7/8/2020), Pemkot Surabaya mengundang seluruh operator penyelenggara
layanan telekomunikasi untuk rapat sosialisasi dan koordinasi penilaian sewa barang milik daerah Pemkot oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
Pihak operator telekomunikasi di wakili oleh pengurus ATSI dan APJATEL sedangkan Pemerintah kota Surabaya diwakili oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Ikhsan, perwakilan dari KJPP yang ditunjuk Pemkot Surabaya dan perwakilan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Pemkot Surabaya bersikukuh tetap akan menggenakan sewa dengan harga komersial terhadap jaringan telekomunikasi yang melintas di seluruh wilayah kota Surabaya. Dalam presentasinya, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Ikhsan memberikan contoh di jalan Raya Darmo. Saat ini harga pasar tanah di jalan Raya Darmo mencapai Rp 30 Juta permeter. Jika diasumsikan satu jaringan utilitas dimanfaatkan oleh 25 operator, maka Pemerintah Kota Surabaya akan menggenakan sewa sebesar Rp. 13.333 / m per tahun per operator.
“Harga sewa satu wilayah dengan wilayah lainnya akan berbeda-beda. Tergantung harga nilai pasar di wilayah tersebut,” kata Ikhsan dalam pertemuan itu.
Jika operator telekomunikasi memiliki kabel di sepanjang jalan Raya Darmo sepanjang 4 km, artinya setiap operator harus membayar minimal Rp 53 juta per tahun.
Jumlah yang harus dibayar oleh operator ini akan jauh lebih tinggi lagi ketika mereka memiliki jaringan kabel di dua ruas jalan Raya Darmo atau memiliki jaringan di wilayah lain di kota Surabaya.
Dalam sosialisasi yang dilakukan secara daring, Ikhsan juga menjelaskan bahwa operator telekomunikasi harus segera membayar sewa tersebut kepada Pemkot Surabaya.
“Jika tak segera membayar sewa tersebut setelah mendapatkan surat peringatan ketiga maka akan diproses oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan jaringan yang dimiliki operator telekomunikasi akan ditertibkan atau diputus oleh Satpol PP Surabaya,” jelas Ikhsan.
Sebagai informasi saat ini hampir semua operator sudah mendapatkan Surat Peringatan Pertama. Surat Peringatan Pertama sudah dilayangkan Pemkot Surabaya pada akhir Juli lalu ke seluruh operator telekomunikasi.
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Apjatel Sesalkan Tingginya Tarif Sewa Lahan Jaringan Utilitas di Kota Surabaya, https://surabaya.tribunnews.com/2020/08/09/apjatel-sesalkan-tingginya-tarif-sewa-lahan-jaringan-utilitas-di-kota-surabaya?page=2.
Penulis: Sri Handi Lestari
Editor: Eben Haezer Panca