Apjatel Kritisi Pengadaan Jaringan Berbiaya Tinggi

JAKARTA, investor.id – Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) menyampaikan kritiknya atas regulasi utilitas di daerah, terutama untuk pengadaan jaringan telekomunikasi, yang berbiaya tinggi. Hal ini dinilai tak sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi yang menginginkan investasi terus tumbuh. Sebagai contoh, saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara tiba-tiba membuat Rancangan Perubahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Jaringan Utilitas yang sebenarnya tidak masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2020. Rancangan perda itu ditujukan untuk menata jaringan utilitas yang semerawut di DKI Jakarta, khususnya kabel udara. Namun, Apjatel menyayangkannya karena regulasi tersebut justru berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi para operator telekomunikasi.

Ketua Umum Apjatel Muhammad Arif menilai, regulasi yang tak sinkron dengan kebijakan pusat tersebut juga terjadi di Kota Surabaya. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, beberapa waktu lalu, telah membuat regulasi yang berpotensi memberikan beban tambahan kepada operator telekomunikasi. Hal tersebut pun disebutnya ironis. Sebab, saat ini, layanan internet broadband melalui kabel fiber optic yang dipasang oleh operator telekomunikasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang belum berlalu. “Apjatel menyayangkan ketika internet sudah merupakan kebutuhan dasar dari masyarakat dijadikan objek pendapatan oleh pemerintah daerah. Tentu, ini kontradiktif dengan semangat Making Indonesia 4.0 yang didengungkan oleh Bapak Presiden,”ujar Arif, dalam pernyataannya, Selasa (28/7). Akibat banyaknya regulasi yang tak sinkron antara derah dan pusat, pada akhir 2019, Apjatel pun telah mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung dengan nomor pendaftaran 13P/HUM/2020 bertanggal 6 Januari 2020 untuk meninjau Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Gugatan tersebut dilayangkan karena banyak multitafsir mengenai hak dan harga sewa lahan di badan jalan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Tidak terdapat keseragaman tafsir karena perhitungan yang diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Apjatel menilai, masih belum maksimalnya harmonisasi regulasi untuk sektor telekomunikasi antara pemerintah pusat dan daerah karena Dinas Kominfo dan Dispenda tidak menjalin komunikasi yang baik dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Buktinya, regulasi izin penyelenggaraan yang diterbitkan Kemenkominfo tidak menjadi tolak ukur saat penyedia jaringan telekomunikasi ingin mengurus izin di daerah. Padahal, di masa pandemi Covid-19, kebutuhan terhadap bandwidth sangat vital. Sebab, banyak masyarakat bekerja, atau belajar dari rumah dan membutuhkan layanan internet yang disalurkan melalui jaringan kabel telekomunikasi. Arif berpendapat, penggelaran jaringan kabel fiber optic seharusnya mendapatkan pengecualian dan keistimewaan sama seperti layanan listrik dan air yang sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat.

“Sebenarnya, pemerintah ingin memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya, atau tidak? Hal ini tentunya hanya bisa dijawab oleh pemerintah,”terangnya. Belum Maju Menurut Arif, di negara maju, infrastruktur pasif, termasuk jaringan telekomunikasi, sudah disediakan oleh pemerintah daerah. Tujuannya agar mengurangi kesemrawutan jaringan. Namun, di Indonesia, pemerintah daerah tak pernah membuat infrastruktur pasif. Selama ini, operator telekomunikasi yang selalu membangun infrastruktur pasif. Selanjutnya, pemerintah pusat dan daerah seharusnya mendukung langkah tersebut, bukan malah mempersulit dengan mengenakan sewa yang terlalu tinggi. Pembangunan sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT) oleh pemerintah juga seharusnya untuk kepentingan umum. Namun, kenyataannya, penggelolaannya malah diserahkan kepada BUMD, sehingga biaya yang dikenakan kepada operator di atas harga keekonomian, atau mahal.

Bahkan, Pemkot Surabaya ajaibnya tetap mengenakan tarif sewa lahan kepada operator telekomunikasi tanpa membangun SJUT. Hal ini dinilainya sangat bertentangan dengan semangat membangun penetrasi internet broadband dan Making Indonesia 4.0 pemerintahan Presiden Jokowi. Jika Indonesia menginginkan terwujudnya e-government, smart city, maupun e-learning, lanjut Arif, sudah seharusnya pemerintah pusat dan daerah memberikan karpet merah kepada operator telekomunikasi di Tanah Air.

Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Apjatel Kritisi Pengadaan Jaringan Berbiaya Tinggi”

Read more at: http://brt.st/6G2c

Selasa, 28 Juli 2020 | 21:00 WIB Abdul Muslim (abdul_muslim@investor.co.id)